Selasa, 30 Agustus 2016

MENYAMBUT IDUL ADHA

Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan Qurban. Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku, dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan. Suasana ditempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali anak-anak yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan di Qurbankan pada Idul Adha nanri, sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini tentang pengorbanan Nabi Allah Ibrahim & Nabi Ismail.

 
Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi memilih hewan yang akan disembelih saar Qurban nanti. Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang. Ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.

" Berapa harga kambing yang itu pak? ujarku menunjuk kambing coklat tersebut. " Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing mega super dua juta rupiah tidak kurang" kata si pedagang berpromosi matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli yang lainnya.

"Tidak bisa turun pak"? Kataku mencoba bernegosiasi.
"Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal" Sipedagang bertahan. 
"Satu juta lima ratus ribu ya?" aku melakukan penawaran pertama
"Maaf pak, masih jauh." ujarnya Cuek.

Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya.

"Oek pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu? kataku
"masih belum nutup pak" ujarnya tetap cuek
"Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik" ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.

"Ya pak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa datang kesini sendiri.

Tetap saja harus diangkut mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput" kata si pedagang meledek.

Dalam hatiku berkata, alot juga pedagang satu ini. TIdak menawarkan harga selain yang sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari so coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus ribu. Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk  menambah budget ban yang harganya kini selangit.

Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang? kataku kemudian
"nah yang itu super biasa. Satu juta lima ratus lima puluh ribu rupiah"katanya

Belum ada sempat aku menawar, di sebalahku berdiri seorang kakek menanyakan harga kambing coklat Mega super tadi. Meskipun pakaian KOPRI yang ia kenakan Lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.

Gagah banget kambing itu. BErapa harganya mas? katanya kagum
"Dua Juta tidak kurang tidak lebih kek. Menjawab setelah melihat penampilan si kakek.

Weleh mahal bener harganya" kata si kakek, bisa tawarkan ya mas? lanjutnya mencoba negosiasi juga.

Cari kambing yang lain aja kek. Si pedagang terlihat semakin malas meladeni.
Tidak mas. Aku mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini.

Uangnya cukup untuk bayar kok mas. Katanya tetap bersemangat seraya mengeluarjan bungkusan dari saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu dibukanya, enam belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh ribuan dikeluarkan dari dalamnya.

Ini dua juta rupiah mas. Kambingnya diantar kerumah ya mas? lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.

Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya sejak tadi. Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima uang yang disodorkan si kakek, kemudian di hitungnya perlahan lembar demi lembar uang itu.

"Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah" si pedagang mengeluarkan selembar lima puluh ribuan
"Enggak ada ongkos kirimnya ya? si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih
"Dua juta sudah termasuk ongkos kirim" si pedagang yang cukup jujur memberikan lima puluh  ribu ke kakek" mau di antar ke mana mbah? tiba-tiba panggilan kakek berubah menjadi mbah

Alhamdulillah, lebih lima puluh ribu iso ditabung neh, Kata si kakek sambil menerimanya tolong antar ke desa dekat itu ya. Sesampainya dibelakang Masjid BAiturrohman, tanya saja rumahnya Insya Allah anak-anak sudah tahu.

Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah disepakati dan membayar apa yang telah disepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang disandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari mobil milikku. PErlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap diakayuhnya tetap dengan semangat. Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku. Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendaraan sepeda engkol, sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya. Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek. Yang aku tahu, di sekitar MAsjid BAiturrohman tidak ada rumah yang berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk sekitar desa pasir Mukti hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan.

Yang pasti secara materi, sangatlah jauh dibandingkan penghasilanku yang sanggup membeli rumah dikawasan cukup bergengsi, yang sanggup membeli  kendaraan roda empat yang harga bannya  saja cukup memberli seekor kambing Mega super, yang sanggup mempunyai hobi berkendaraan moge (Motor Gede) dan memilikinya yang sanggup mengkoleksi "raket" hanya untuk  olah raga seminggu sekali, yang sanggup juga membeli hewan Qurban du ekor sapi sekaligus. Tapi apa yang aku pikirkan? Aku hanya hendak membeli hewan Qurban yang jauh di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service rutin mobilku, kendaraanku di dunia fana.

Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya. Ya Allah, engkau yang maha membolak-balikkan hati manusia balikkan hati hambamu yang tak pernah bersyukur ini ke arah orang yang pandai mensyukuri nikmatu.

"BERIKANLAH YANG TERBAIK"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar