Menasihati Diri
Berbicara tentang nasihat, aku melihat diriku tak pantas untuk memberikannya. Sebab, nasihat seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran untuk diri sendiri. Siapa yang tak sampai pada nisab, bagaimana ia akan mengeluarkan zakat? Orang yang tak memiliki cahaya tak
mungkin dijadikan alat penerang oleh yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya bengkok? Allah Swt. mewahyukan kepada Isa bin Maryam, “Nasihatilah dirimu! Jika engkau telah mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak, malulah kepada-Ku.” Nabi kita saw bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua pemberi nasihat: yang berbicara dan yang diam.”
Berbicara tentang nasihat, aku melihat diriku tak pantas untuk memberikannya. Sebab, nasihat seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran untuk diri sendiri. Siapa yang tak sampai pada nisab, bagaimana ia akan mengeluarkan zakat? Orang yang tak memiliki cahaya tak
mungkin dijadikan alat penerang oleh yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya bengkok? Allah Swt. mewahyukan kepada Isa bin Maryam, “Nasihatilah dirimu! Jika engkau telah mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak, malulah kepada-Ku.” Nabi kita saw bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua pemberi nasihat: yang berbicara dan yang diam.”
Pemberi nasihat yang berbicara adalah Alquran, sedangkan yang
diam adalah kematian. Keduanya sudah cukup bagi mereka yang mau mengambil
nasihat. Siapa yang tak mau mengambil nasihat dan keduanya, bagaimana ia akan
menasihati orang lain? Aku telah menasihati diriku dengan keduanya. Lalu aku
pun membenarkan dan menerimanya dengan ucapan dan akal, tapi tidak dalam
kenyataan dan perbuatan. Aku berkata pada diri ini, “Apakah engkau percaya
bahwa Alquran merupakan pemberi nasihat yang berbicara dan juru nasihat yang
benar, serta merupakan kalam Allah yang diturunkan tanpa ada kebatilan, baik
dari depan maupun dari belakangnya?” Ia menjawab, “Benar.” Allah Swt. berfirman, “Siapa yang menginginkan kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan amal perbuatan
mereka di dunia dan mereka di dunia ini tak akan dirugikan. Mereka itulah yang
tidak akan memperoleh apa-apa di akhirat kecuali neraka. Dan gugurlah semua
amal perbuatan mereka serta batallah apa yang mereka kerjakan” (Q.S.
Hud: 15-16).
Allah Swt. menjanjikan neraka bagimu karena engkau menginginkan
dunia. Segala sesuatu yang tak menyertaimu setelah mati, adalah termasuk
dunia. Apakah engkau telah membersihkan diri dan keinginan dan cinta pada
dunia? Seandainya ada seorang dokter Nasrani yang memastikan bahwa engkau akan
mati atau sakit jika memenuhi nafsu syahwat yang paling menggiurkan, niscaya
engkau akan takut dan menghindarinya. Apakah dokter Nasrani itu lebih engkau
percayai ketimbang Allah Swt.? Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau
apakah menurutmu penyakit itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian,
betapa bodohnya engkau ini! Engkau membenarkan tapi tak mau mengambil
pelajaran. Bahkan engkau terus saja condong kepada dunia. Lalu aku datangi
diriku dan kuberikan padanya juru nasihat yang diam (kematian). Kukatakan,
“Pemberi nasihat yang berbicara (Alquran) telah memberitahukan tentang pemberi
nasihat yang diam (kematian), yakni ketika Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kematian yang kalian
hindari akan menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam
gaib. Lalu Dia akan memberitahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian
kerjakan’ (Q.S. al-Jumuah: 8).” Kukatakan padanya, “Engkau
telah condong pada dunia. Tidakkah engkau percaya bahwa kematian pasti akan
mendatangimu? Kematian tersebut akan memutuskan semua yang kau punyai dan akan
merampas semua yang kau senangi. Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat
dekat, sedangkan yang jauh adalah yang tidak pernah datang. Allah Swt.
berfirman, ‘Bagaimana
pendapatmu jika Kami berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun?
Kemudian datang pada mereka siksa yang telah dijanjikan untuk mereka? Tidak
berguna bagi mereka apa yang telah mereka nikmati itu.’ (Q.S.
asySyuara: 205-206).”
Jiwa yang merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia
dikeluarkan darinya. Sementara jiwa yang lawwamah (sering mencela) akan terus
memegang dunia sampai ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan
sedih. Lantas ia berkata, “Engkau benar.” Itu hanya ucapan belaka tapi tidak diwujudkan.
Karena, ia tak mau berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk akhirat
sebagaimana ia merancang dunianya. Ia juga tak mau berusaha mencari rida Allah
Swt. sebagaimana ia mencari rida dunia. Bahkan, tidak sebagaimana ia mencari
rida manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada
seorang manusia. Ia tak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat sebagaimana
ia menyiapkan segala sesuatu untuk menghadapi musim kemarau. Ia begitu gelisah
ketika berada di awal musim dingin manakala belum selesai mengumpulkan
perlengkapan yang ia butuhkan untuknya, padahal kematian barangkali akan
menjemputnya sebelum musim dingin itu tiba. Kukatakan padanya, “Bukankah engkau
bersiap-siap menghadapi musim kemarau sesuai dengan lama waktunya lalu engkau
membuat perlengkapan musim kemarau sesuai dengan kadar ketahananmu menghadapi
panas?” Ia menjawab: “Benar.” “Kalau begitu”, kataku, “Bermaksiatlah kepada
Allah sesuai dengan kadar ketahananmu menghadapi neraka dan bersiap-siaplah
untuk akhirat sesuai dengan kadar lamamu tinggal di sana.” Ia menjawab, “Ini
merupakan kewajiban yang tak mungkin diabaikan kecuali oleh seorang yang
dungu.” Ia terus dengan tabiatnya itu. Aku seperti yang disebutkan oleh para
ahli hikmat, “Ada segolongan manusia yang separuh dirinya telah mati dan
separuhnya lagi tak tercegah.”
Aku termasuk di antara mereka. Ketika aku melihat diriku keras
kepala dengan perbuatan yang melampaui batas tanpa mau mengambil manfaat dari
nasihat kematian dan Alquran, maka yang paling utama harus dilakukan adalah
mencari sebabnya disertai pengakuan yang tulus. Hal itu merupakan sesuatu yang
menakjubkan. Aku terus-menerus mencari hingga aku menemukan sebabnya. Ternyata
aku terlalu tenang. Oleh karena itu berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit
kronis dan sebab utama yang membuat manusia tertipu dan lupa.Yaitu, keyakinan
bahwa maut masih lama. Seandainya ada orang jujur yang memberikan kabar pada
seseorang di siang hari bahwa ia akan mati pada malam nanti atau ia akan mati
seminggu atau sebulan lagi, niscaya ia akan istikamah berada di jalan yang
lurus dan pastilah ia meninggalkan segala sesuatu yang ia anggap akan menipunya
dan tidak mengarah pada Allah SWT.
Jelaslah bahwa siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap
bisa mendapati waktu sore, atau sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu
berharap bisa mendapati waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda
amalnya. Ia hanya bisa berjalan dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati
orang itu dan diriku juga dengan nasihat yang diberikan Rasullah saw ketika
beliau bersabda,”Salatlah
seperti salatnya orang yang akan berpisah (dengan dunia).”Beliau
telah diberi kemampuan berbicara dengan ucapan yang singkat, padat, dan tegas.
Itulah nasihat yang berguna.
Siapa yang menyadari dalam setiap salatnya bahwa salat yang ia
kerjakan merupakan salat terakhir, maka hatinya akan khusyuk dan dengan mudah
ia bisa mempersiapkan diri sesudahnya. Tapi, siapa yang tak bisa melakukan hal
itu, ia senantiasa akan lalai, tertipu, dan selalu menunda-nunda hingga
kematian tiba. Hingga, pada akhirnya ia menyesal karena waktu telah tiada.
Aku harap ia memohonkan kepada Allah agar aku diberi kedudukan tersebut
karena aku ingin meraihnyg tapi tak mampu. Aku juga mewasiatkan padanya agar
hanya rida dengannya dan berhati-hati terhadap berbagai tipuan yang ada. Tipuan
jiwa hanya bisa diketahui oleh mereka yang cendekia.SUMBER : KITAB BIDAYATUL HIDAYAH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar